CAKUPAN ETIKA BISNIS
Masalah etika bisnis atau etika usaha akhir‐akhir ini semakin banyak
dibicarakan. Hal ini tidak terlepas dari semakin berkembangnya dunia usaha di
berbagai bidang. Kegiatan bisnis yang makin merebak baik di dalam maupun di luar
negeri, telah menimbulkan tantangan baru, yaitu adanya tuntutan praktik bisnis yang
baik, yang etis, yang juga menjadi tuntutan kehidupan bisnis di banyak negara di
dunia. Transparansi yang dituntut oleh ekonomi global menuntut pula praktik bisnis
yang etis. Dalam ekonomi pasar global, kita hanya bisa survive jika mampu bersaing.
Untuk bersaing harus ada daya saing yang dihasilkan oleh produktivitas dan efisien.
Untuk itu pula, diperlukan etika dalam berusaha atau yang dikenal dengan etika
bisnis karena praktik berusaha yang tidak etis dapat mengurangi produktivitas dan
mengekang efisiensi dalam berbisnis.
Richard T. De George (1986) dalam Teguh Wahyono (2006, p. 155‐156)
memberikan empat macam kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai cakupan etika
bisnis.
1. Penerapan prinsip‐prinsip etika umum pada praktik‐praktik khusus dalam bisnis.
2. Etika bisnis tidak hanya menyangkut penerapan prinsip etika pada kegiatan bisnis,
tetapi merupakan ’meta‐etika’ yang juga menyoroti apakah perilaku yang dinilai
etis atau tidak secara individu dapat diterapkan pada organisasi atau perusahaan
bisnis.
3. Bidang penelaahan etika bisnis menyangkut asumsi mengenai bisnis. Dalam hal ini,
etika bisnis juga menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya serta
sistem ekonomi suatu negara pada khususnya.
4. Etika bisnis juga menyangkut bidang yang biasanya sudah meluas lebih dari
sekedar etika, seperti misalnya ekonomi dan teori organisasi.
Pada keempat bidang tersebut, etika bisnis membantu para pelaku bisnis
untuk melakukan pendekatan permasalahan moral dalam bisnis secara tepat dan
sebaliknya mendekati permasalahan yang terjadi pada bisnis dengan pendekatan
moral yang mungkin sering diabaikan. Etika bisnis akan membuat pengertian bahwa
bisnis tidak sekedar bisnis, melainkan suatu kegiatan yang menyangkut hubungan
antar manusia sehingga harus dilakukan secara ’manusiawi’ pula.
Etika bisnis akan memberikan pelajaran kepada para pelaku bisnis bahwa bisnis
yang ’berhasil’, tidak hanya bisnis yang menuai keuntungan secara material saja
melainkan bisnis yang bergerak dalam koridor etis yang membawa serta tanggung
jawab dan memelihara hubungan baik antar manusia yang terlibat di dalamnya. Jika
disimpulkan, etika bisnis memiliki tujuan yang paling penting yaitu menggugah
kesadaran tentang dimensi etis dari kegiatan bisnis dan manajemen. Etika bisnis juga
menghalau pencitraan bisnis sebagai kegiatan yang ’kotor’ penuh muslihat dan
dipenuhi oleh orang‐orang yang menjalankan usahanya dengan licik.
PRINSIP‐PRINSIP ETIKA BISNIS
Secara umum, prinsip‐prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia. Demikian
pula, prinsip‐prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh
masing‐masing masyarakat. Bisnis Jepang akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai
masyarakat Jepang. Eropa dan Amerika Utara akan sangat dipengaruhi oleh sistem
nilai masyarakat tersebut dan seterusnya. Demikian pula prinsip‐prinsip etika bisnis
yang berlaku di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat
Indonesia.
Tanpa melupakan kekahsan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, secara
umum menurut Sonny Keraf ( 1998) ada beberapa prinsip etika bisnis yakni :
1. Prinsip otonomi.
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan
dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik
untuk dilakukan. Orang bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya
akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Jadi orang yang otonom
adalah orang yang tahu akan tindakannya, bebas dalam melakukan tindakannya,
tetapi sekaligus juga bertanggung jawab atas tindakannya. Kesediaan bertanggung
jawab merupakan ciri khas dari makhluk bermoral. Orang yang bermoral adalah
orang yang selalu bersedia untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Secara khusus dalam dunia bisnis, tanggung jawab moral yang diharapkan dari
setiap pelaku bisnis yang otonom mempunyai dua arah, yakni tanggung jawab
terhadai diri sendiri dan tanggung jawab moral yang tertuju kepada semua pihak
terkait yang berkepentingan (stakeholders) yakni konsumen, penyalur, pemasok,
investor, atau kreditor, karyawan, masyarakat luas, relasi‐relasi bisnis.
2. Prinsip kejujuran.
Ada tiga lingkup kegiatan bisnis modern yang sadar dan mengakui bahwa
kejujuran dalam berbisnis adalah kunci keberhasilan, termasuk untuk bertahan
dalam jangka panjang, dalam suasana bisnis penuh persaingan yang ketat. Ketiga itu
adalah:
a. Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat‐syarat perjanjian dan kontrak. Dalam
mengikat perjanjian dan kontrak tertentu, semua pihak secara priori saling
percaya satu sama lain, bahwa masing‐masing pihak tulus dan jujur dalam
membuat perjanjian dan kontrak itu dan lebih dari itu serius serta tulus dan jujur
melaksanakan janjinya. Kejujuran ini sangat penting artinya bagi kepentingan masing‐masing pihak dan sangat menentukan relasi dan kelangsungan bisnis
masing‐masing pihak selanjutnya.
b. Kejujuran juga relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga
yang sebanding. Dalam bisnis modern penuh persaingan, kepercayaan konsumen
adalah hal yang paling pokok.
c. Kejujuran juga relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Kejujuran dalam perusahaan justru inti dan kekuatan perusahaan itu.
3. Prinsip keadilan.
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai
dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang
dirugikan hak dan kepentingannya.
4. Prinsip saling menguntungkan.
Prinsip saling menuntungkan menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian
rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Prinsip ini bisa mengakomodasi hakikat
dan tujuan bisnis.
5. Prinsip integritas moral.
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku
bisnis atau perusahaan agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama
baiknya atau nama baik perusahaannya. Prinsip ini merupakan tuntutan dan
dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan
dibanggakan.
sumber: http://download.portalgaruda.org/